Menikmati Harmoni Budaya Toleransi dalam Balutan Jogjakarta

20:20:00 Unknown 0 Comments



Aroma Yogyakarta terkenang manis dalam ingatan. Terlebih ketika pertama kali menghampirinya di penghujung Juni 2011 bersama sahabatku Rona Mentari, rasanya masih belum puas kaki ini menapaki tanah Jogja.  

Maka sekali lagi, aku kali ini bersama Lele (Rahmad Syalevi) memesan tiket kereta menuju Jogja, kota budaya Indonesia. Kurang lebih dua belas jam perjalanan kereta yang sangat alot, sempat membuat kami pusing kebingungan mencari guest house tujuan. Beruntung seorang tukang becak yang ramah menawari kita membayar jasanya seharga sepuluh ribu rupiah sampai tujuan, entah jauh entah dekat. Namun makna yang jelas terlihat adalah bahwa warga pribumi memang memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap perbedaan budaya bawaan pendatang. 


Hari 1
Kami yang masih lelah dan pusing diajak berkeliling ke setiap tempat yang berhubungan dengan oleh-oleh, mulai dari bakpia hingga kaos-kaos sablon khas Jogja. Bapaknya berkata dalam logat Jawa, “kita memang tidak banyak mendapat untung dari menggoes pedal becak, tapi jika mas dan mba membeli barang-barang di toko yang saya tunjukan, maka saya akan mendapat sembako.” Akhirnya, kami yang baru tiba ini membeli beberapa oleh-oleh, agak tidak logis memang, bukannya oleh-oleh itu diakhir..nanti kalau uangnya habis gimana ? yang penting untuk kebaikan. Okesip

Tiba di Hotel Puspita, beberapa jam kemudian kami paksakan badan ini berjalan ke arah taman sari yang katanya memiliki view pemandian puteri-puteri jaman dulu. Sebelum sampai di taman sari, kami berhenti di gapura pertama, uniknya, gapura ini dijadikan terowongan jalan raya, padahal dahulunya bangunan itu menjadi gapura selamat datang bagi tamu. Kami bisa melihat langit luas dari atas sana, ditemani suara anak-anak yang bermain layangan dan perosotan dengan riangnya.








Di taman sari, kita kebingungan karena pintu masuk utama dalam keadaan tertutup. Dengan ramah, seorang tukang becak mempersilahkan kami ke arah pintu yang lebih kecil di sebelah kanan karena Taman Sari sore itu memang sudah tutup. Dengan keberanian yang besar, kami berdua menerobos gelapnya masjid bawah tanah peninggalan kerajaan Mataram Islam. Kami hanya berdua di dalam lorong itu, rasa takut karena merasa lorong itu ujungnya masih sangat panjang pun hilang ketika terdengar suara orang mengobrol semakin keras semakin kita dekati. Ternyata ruangan gelap itu tidak begitu panjang, kanan kirinya terdapat ruangan seperti kamar yang di tralis penuh layaknya penjara, dan berujung di pintu keluar yang langsung menuju rumah warga. Baru saja keluar, tiba-tiba kami disergap begitu saja oleh seorang bapak berbaju batik dan bertanya “sudah tau mau kemana?”. Untuk backpacker yang memiliki budget kecil seperti kami, hendaklah menjawab dengan kalimat “tau pak, terimakasih..” dengan gaya so’tau. Andai waktu bisa kuputar, ingin rasanya menolak tawaran untuk dipandu olehnya. Ya, beliau warga setempat yang berfrofesi sebagai pemandu wisata taman sari yang sebenarnya tak perlu pemandu. Kami diajak ke masjid bawah tanah yang sesungguhnya, berfoto di atas undakan tangga yang bermakna rukun islam, karena tangganya memang ada lima, dan yang paling atas adalah undakan “naik haji bagi yang mampu” kami pun berfoto di tangga paling tinggi, berharap bisa naik haji di hari esok. Amin





Rumah-rumah warga rela dipindahkan demi budaya leluhur


(kiri) rumah warga dan (kanan) bangunan kerajaan

 
Setelah undakan itu, kami diajak melihat betapa damainya perpaduan bangunan kerajaan yang bercampur dengan rumah-rumah sedrhana warga. Wajah kami sempat “manyun”, saat Mas Andi bilang “di tengah sana akan dibangung sebuah gedung pertunjukan teater yang besar dengan view bangunan yang sekarang kita naiki.” Lalu aku bertanya “ lah, rumah-rumah warganya gimana?” itulah, bukti betapa besarnya toleransi dan loyalitas masyarakat Jogja terhadap warisan leluhur. Bahkan mereka rela berpindah tepat demi pemugaran bangunan kebudayaan kotanya.

Kami yang merasa dipasang bom waktu diajak setengah berlari ke arah bekas pemandian putri raja. Menyelusup di antara rumah-rumah warga yang menyatu dengan cagar budaya,  agak memusingkan memang. Tapi sungguh menakjubkan, ketika dengan jelasnya bangunan tua masa kerajaan, berdampingan damai dengan rumah warga yang dibangun di era modern. Toleransi perbedaan yang sangat kental. Warga setempat mampu hidup bergandengan dengan segala peninggalan masa lalu leluhurnya. Mereka jaga dan rawat dengan baik, sehingga jelas terkesan sangat apik. 

Lelah bergelut dengan sejarah, kami menyempatkan diri mempraktekan mitos yang sangat terkenal hingga terpampang di layar TV. Mitos tentang dua beringin besar di alun-alun selatan, yang jika dilewati lurus oleh kita dengan menutup mata, maka rezeki kita pun akan aman lancar. Awalnya aku sepakat dengan mitos itu, tapi ketika tiba-tiba ternyata arah langkah yang kuatur sedemikian rupa tiba-tiba melenceng, spontan aku tak percaya mitos itu, heheh. Berbeda dengan Lele, di percobaannya yang pertama, dia berjalan lurus di antara dua beringin besar, padahal selama ia berjalan aku mengganggunya dengan ocehan. Oke, selamat ya le.. roda ekonomi berputar stabil di sini, banyak pedagang bahkan pengamen yang bisa mengeruk keuntungan besar. Mulai dari penjual makanan ala lesehan, beca kerlap-kerlip yang dihiasi lampu dan musik, tukang parkir, sewa sepeda, hingga pengamen cilik bersuara emas. Kami menikmati makanan susu jahe, magelangan dan nasi goreng, berpayung langit dan berjarak satu senti dengan tanah. Lelah tertawa, kami pun kembali ke penginapan




 
Hari 2
Bersiap menyambut mentari dan bibir angin yang mencium tubuh, Prambanan kan kami jelang. Bermodal uang Rp. 6000 pergi ke prambanan menggunakan trans jogja, suasana yang tidak berbeda jauh dengan trans jakarta. Selama perjalanan, ada banyak hal yang kami lihat, mulai dari kesederhanaan warganya, hingga bencong-bencong yang bertebaran. Namun lagi-lagi karena rasa awam kami, kami menggunakan becak ke arah prambanan yang sesungguhnya bisa ditempuh dengan jalan kaki saja. Tak apa, sedekah...
Kami pun tiba di candi yang terkenal dengan mitosnya. Penolakan Bandung Bondowoso oleh Roro Jongrang “katanya” membuat Bandung Bondowoso mengutuk semua pasangan yang datang ke candi ini. Pasangan yang memadu kasih di candi ini akan putus. Really ? back to your believe. Candi adalah makan raja-raja jaman dulu, atau bisa juga sebagai tempat ibadah, logikanya, sangat tidak pantas bermesraan di tempat seperti ini. Jika jodoh, takkan lari kemana.  









 
Prambanan mengalami pemugaran berkali-kali setelah gempa dan bencana alam yang pernah terjadi. Jika masyarakat Jogja tak peduli dan tak mentolerir adanya sebuah penghormatan terhadap budaya leluhur, mungkin prambanan akan dibiarkan menjadi onggokan batu. Dan jangan terkaget ketika masyarakat Jogjakarta begitu loyal dalam melayani wisatawan, termasuk warga asing. Toleransi mereka begitu besar menerima perbedayaan yang datang, bahasa yang berbeda, ras yang berbeda dan tentunya agama yang berbeda.


Jogja menunjukan toleransi yang tingi terhadap warga asing

Addition : saya berfoto dengan Jojo, kijang yang dipelihara di sekitar prambanan.





Hari 3
Melunasi rasa penasaran yang kami rasakan di hari pertama, kami pergi lagi ke taman sari di pagi hari. Ternyata harga tiketnya jauh sangat murah dibanding ongkos guide yang kami berikan kepada Mas Abdi sebelumnya. Lagi-lagi, tak apa, sedekah...
Kami sepuasnya berfoto di tempat yang dulunya dijadikan tempat mandi para dayang dan puteri. Sekarang dengan bebas dimasuki orang, padahal dulunya mengintip saja langsung dihukum penggal. Dengan dekatnya kami pun melihat harmonisasi bangunan warga kini dan benteng besar gapura kerajaan Mataram islam.
Oya, di sini pun terdapat sumur yang dipercaya jika dilempari koin, maka kesialanmu pun ikut terlempar ke dalamanya. Ternyata mitos di sini tak jauh beda dengan patung yang ada di film “When in Rome”.

Selanjutnya kita menuju jantung budaya yang tetap terjaga di kota ini, keraton. Kental sekali hawa kebudayaannya, suara musiknya, bahasa tuturnya dan ramah tamahnya. Satu hal yang membuat saya terkagum adalah kata-kata Hamengku Buwono IX yang terukir dalam prasasti. “Walaupun saya telah mengenyam pendidikan barat yang sebenar-benarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang jawa.”
Intinya, jangan melupakan siapa kita sebenarnya hanya karena berada di ranah yang berbeda.

saya pun menjelajah hiruk pikuknya Malioboro di hari minggu, banyak seniman-seniman jalanan yang beraksi dan mengkritisi pemerintahan. Tak sedikit juga seniman-seniman berkualitas yang sangat menghargai perbedaan di Jogjakarta, mereka tetap melebur menciptakan suatu karya seni yang muncul dari hati. 

terakhir, kami mampir di alun-alun selatan (lagi) dan menikmati sate juga wedang di malam hari. Nikmatnya menikmati harmonisasi di kota ini. Penuh toleransi. 

You Might Also Like

0 komentar: