Maryam yang Terusir Karena Iman

Kisah Tentang Toleransi : Maryam yang Terusir Karena Iman

17:41:00 Unknown 0 Comments



Menjadi bagian dari teater ini, aku jadikan sebagai sarana pembelajaran moral untuk memaknai arti luas sebuah kata “toleransi”. 




1 Mei 2012, tepat ketika tahunku yang ke 21 dimulai di hari itu... dengan segala pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan materi yang terkuras sebelumnya, aku tampil pada sebuah pertunjukan teater berjudul “Maryam yang Terusir Karena Iman” diambil dari novel Maryam karya Okky Madasari, pengarang 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2011. 

Di sana aku berperan sebagai Maryam. Sosok yang hatinya penuh dengan dilema, tegar dan pemberontak, aku memaknainya seperti
itu.
Tapi entah mengapa aku yang terpilih sebagai Maryam, padahal jujur, saat casting aku sama sekali tidak mendambakan peran itu, malah aku casting sebagai Ibu Umar dan Fatimah. AA (Pemimpin Produksi) bilang, “Kamu hebat saat marah !” 

Ya... dalam adegannya, Maryam memang banyak berteriak, marah, menangis, sedih, galau, dilema dan berbagai perasaan lain yang berkecamuk secara bersamaan. Dia ditakdirkan sebagai seorang ahmadi sejak lahir. Ayah, ibu hingga kakek nya pun berkeyakinan seperti itu. Sejak kecil hingga SMA ia tinggal di Lombok, di rumah peninggalan kakeknya yang dibangun oleh ayahnya sendiri. Meskipun mereka memiliki keyakinan yang berbeda dengan masyarakat lainnya, namun kedamaian dan sikap saing menghormati masih dijadikan panutan dalam menghargai sesamanya. Hingga akhirnya, Maryam pun harus meninggalkan Lombok tercinta demi merajut impiannya untuk berkuiah di Surabaya.

Di sana ia tinggal dengan bibinya yang juga ahmadiyah. Dalam bergaul, Maryam tak pernah membedakan diri dengan teman-temannya yang lain. Dia tak pernah menganggap dirinya berbeda dalam hal meyakini agamanya. Selain pandai bergaul, Maryam pun memiliki paras yang cantik. Berbeda denganku yang memakai jilbab, Maryam selalu menguraikan rambutnya dalam keseharian, namun dalam teater ini mau tak mau Maryam harus mengerudungi rambutnya yang katanya sangat mempesona.

Di Surabaya, Maryam selalu dijodoh-jodohkan dengan Gamal (Said), anak dari teman mengaji sesama ahmadi. Karena terlalu sering dijadikan bulan-bulanan, bunga-bunga cinta pun bermekaran di hati Maryam dan Gamal. Namun apa daya, Gamal harus pergi ke Banten melakukan sebuah penelitian. Maryam pun sendiri menahan sepi berbulan-bulan menanti kedatangan Gamal, cinta pertamanya. 

Maryam rapuh atas kepergian Gamal
“Tuhanku... Kupinta pagi ini hadirnya...

Kembali bersamanya.

Tuhanku... dengarlah... rindu ini untuknya
Bermimpi bersamanya.

Datanglah dalam bayang

Datanglah dalam bisikan

Datanglah dalam desir

Datanglah dalam dekapan

Ku menunggu...kabulkanlah pintaku
Sesaat bersamanya..”

Song : Sesaat Bersamanya
Created by : Okky Madasari
Music by : Imam Hidayat

 

Maryam enggan melepaskan Gamal pergi


Dua bulan kemudian Gamal pun pulang ke Surabaya, tapi bukan untuk kembali kepada Maryam ataupun keluarganya, melainkan untuk berontak terhadap keyakinan yang ia yakini selama ini atas pengetahuan agama yang ia dapatkan di Banten. Gamal mencerca bahwa keyakinan kedua orang tuanya adalah sesat. Ia pergi meninggalkan Surabaya dan tak pernah kembali. Maryam patah hati, sedih bukan main, dan akhirnya sepakat untuk beranjak ke ibu kota mencari pekerjaan. 



Bapak Gamal murka ketika dengan beraninya Gamal mengatakan bahwa keyakinan orang tuanya adalah sesat


Di jakarta, Maryam semakin individualis dalam menjalani hari, ia bekerja di bank swasta dan mendapatkan penghasilan yang cukup. Penampilannya sedikit berubah menjadi lebih fashionable dan feminim, hingga ia mengenal Alamsyah (Ujang) dan jatuh cinta kepadanya. Sayang, Alam bukan ahmadiyah seperti Maryam, sehingga orang tua dari keduanya pun tak menijinkan. Maryam dengan tegas ditolak mentah-mentah oleh ibu Alam (Mba Adis), namun karena Alam berjanji akan membawa Maryam pada keyakinan yang sama dengannya, akhirnya Ibu Alam pun luluh.


akhirnya Ibu Alam pun luluh.
Maryam dikenalkan kepada Ibu Alamsyah
Namun berbeda dengan Maryam yang kesulitan mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Saat ia pulang ke Lombok, ayahnya membentak penuh amarah karena tahu Alam berbeda keyakinan dengan mereka, dan  Alam bersikeras menikahi Maryam

Maryam menikah tanpa restu orang tua

Adegan percintaan Maryam dan Alam
Pernikahan pun berlangsung tanpa persetujuan penuh dari kedua keluarga. Alhasil, rumah tangga Maryam pun tak berlangsung lama karena sering terjadinya pertengkaran dengan Ibu Alam, puncaknya adalah ketika Maryam sudah tak kuat lagi menahan segala sindiran mertuanya atas keyakinan yang dimilikinya, terlebih dengan dirinya yang juga belum bisa mengandung. Akhirnya ia meminta cerai kepada Alam yang saat itu masih sangat mencintainya.
Maryam bertengkar dengan Ibu Alam

Maryam bertengkar dengan Alam

Add caption



Maryam pun memutuskan untuk kembali ke Lombok menemui orang tuanya yang sudah lama ia tinggalkan.
“Lelah jiwa di persimpangan...
Merindukan peluk bunda...
Sesat langkah dalam kelana..
Menantikan kata maafnya...
Ragu untuk pulang...
Malu hatiii...”
Song : “Pulang”
Created by : “Okky Madasari”
Music by : “ Imam Hidayat n friends”


Namun sesampainya di Lombok, bukan keluarga apalagi kebahagiaan yang ia temukan, tapi malah seorang kakek tua penjaga rumahnya (AA) yang sedang membersihkan puing-puing rumah bekas lemparan batu. Kakek tua itu menceritakan bahwa rumah Maryam baru saja dirusak masa, semua penghuni rumah diusir dari kampung tersebut, dilempari batu, dilempari kata penuh hina dan diperlakukan seperti bukan memperakukan manusia. 


Maryam kecewa, menangis dan meracau tak karuan, ia ditunjukan agar pergi kepada Bapak Saifudin (Kak Beny) yang sempat menyelamatkan warga terusir beberapa hari. Maryam pun segera menemui Pak Saifudin dan mendapatkan info bahwa keluarganya telah ditempatkan di suatu ruangan besar untuk berpuluh-puluh kepala keluarga. Bayangkan, mereka hanya memberikan sekat dengan sebuah sarung setiap lima meter saja per keluarganya. Mereka hidup seperti di sebuah kandang sempit dengan puluhan manusia-manusia yang terusir karena keimanannya.


Maryam pun bertemu dengan keluarganya, penuh tangis dan haru kala itu. Perasaannya yang sedih karena baru saja bercerai,bertambah parah dengan mirisnya tempat yang ditinggali keluarganya sekarang. Namun mereka menerima dengan lapang, menjalani hidup layaknya manusia biasa. Maryam pun mulai menata kembali isi hatinya setelah dikenalkan kepada Umar ( Andri), seorang lelaki ahmadi yang juga pengusaha susu. Mereka menikah dan Maryam pun mengandung. 



Belum sempat mengecap banyak kebahagiaan, tiba-tiba saat pengajian rutin di rumah, warga setempat kembali melakukan pengusiran.
Batu-batu dilemprkan, caci maki diludahkan dan manusia dihinakan.
mereka dipaksa untuk meninggalkan tempat singgah dari pengusiran sebelumnya.










Orang bicara cinta.. atas nama Tuhannya
sambil menyiksa
membunuh
berdasarkan keyakinan mereka !!

Maryam dan ketiga lelaki di kehidupannya


Baiklah, tak perlu menjelaskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Semua ini tak akan terjadi jika toleransi menjadi penengah, dan pemerintah menjadi sandaran orang-orang yang merasa didiskriminasi. Perlakukanlah manusia layaknya manusia, jika salah, tuntunlah ke arah yang benar dengan cara yang benar. 

Kafha

You Might Also Like

0 komentar: