Wanita –Wanita Parlemen : Dari Latihan Sampai Sidang

16:44:00 Unknown 0 Comments





Berawal dari niatan untuk mempersembahkan suatu karya nyata dari Kafha angkatan 2010. Amrin, dia mengerahkan kami untuk berkumpul mengucurkan aspirasi tentang suatu pertunjukan yang layak untuk ditampilkan. Asalnya bayak ide simpang-siur, teater musical lah, teater bertema anti korupsi lah, hingga tetaer tentang emansipasi wanita. Namun akhirnya di minggu ketiga, penulis naskah dan sutradara beserta pembimbing teater sepakat untuk menyadur naskah karya Aristophanes, Wanita – Wanita Parlemen.  Dan entah dipengaruhi
siapa, Amrin – sang ketua menunjuk aku sebagai pelakon teater sekaligus bendahara dalam satu waktu. Saat jadwal rapat dan latihan tidak berjalan bersamaan, dengan mudah aku bisa menjalankannya dengan senang hati, namun ketika kedua acara tersebut dilaksanakan di jam yang sama, ya Allah.. rasanya ingin mengkloning diri.

Sebagai pelakon dan bendahara, aku sempat merasa pesimis teater ini bisa ditampilkan. Karena dari segi pendanaan saja masih nol besar, belum lagi para pelakon yang so’ sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Latihan dimulai sebulan sebelum pementasan, namun peran belum ditentukan hingga satu minggu sebelum pelaksanaan. Sungguh ajaib cara berlatih kita, it’s magic.
Latihan
Dilakukan seminggu dua kali setiap habis magrib. Namun seperti biasa, janji jam 6, ternyata mulai jam 6 lebih 2 jam. Pemanasan, lalu eksplorasi, latihan vocal, semuanya menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Awal latihan selalu pulang jam 10 atau jam 11. Semakin mendekati pelaksanaan, kami malah terbiasa pulang hampir mendekati adzan subuh. Dan kita masih Terombang-ambing dalam kebimbangan pertanyaan “aku berperan jadi siapa?” hingga akhirnya Raktri lah yang terpilih untuk aku perankan. Setelah pasti mendapatkan peran, akhirnya kami berlatih lebih focus dan tersruktur. 

Berdoa dengan saling berpegangan tangan, menertawakan orang yang jatuh berguling-guling saat eksplorasi, menyanyi sumbang saat latihan vocal, memperhatikan adegan lucu pelakon lain, rebutan makan nasi rames paket goceng,  hingga mencuri pandang si lelaki yang sedang memainkan BB nya. Aaaaaaaaah sial, semuanya menyenangkan.. aku cinta teater. Walaupun mengeluh lelah…ngantuk…lapar….besok ada quiz…banyak tugas, tapi aku tetap hadir latihan dan menjalaninya penuh cinta. 
Walaupun sibk seminar, ketika keberadaan bendahara sangat dibutuhkan, maka secepat kilat ak berusaha datang tepat waktu.  Say special thx for ka maio yang setia membimbing kita, ardi-nuel yang sempat mengantar kita pulang, Gema yang hobi menumpulkan foto-foto kita, juga semua anggota kafha yang telah mendukung, dan pastinya masyarakat paramadina juga Indonesia yang telah membeli tiket teater kami. hehe

Sidang…
Raktri. Sosok wanita semangat yang berjalan ngangkang. Karakter Raktri sebenarnya aku sendiri yang menciptakannya. Tawanya, gaya bicaranya, hingga kumisnya. Kumis ? ya kumis ! Raktri dan kawan-kawan perempuannya : Aswani (Nyak), Gendari (Resty), Banowati (Nadia), Warsiki (Ayum), Permoni (Sherly) mencuri baju-baju parlemen suami-suami mereka untuk digunakan sebagai penyamaran ke siding parlemen. Mereka berdandan layaknya seorang laki-laki, karena parlemen tersebut hanya diperuntukkan untuk laki-laki. Sidang berjalan sesuai rencana, Permoni sebagai ketua sidang berhasil meyakinkan semua anggota sidang untuk menyetujui keputusan bahwa wanita lah yang harus memimpin Desa Sukarmaju. Randuwanda (Nuel), Kanekaputra (Arief), Tuhataya (Dondik), dan Balapauta (Said) berhasil disogok dengan amplop yang diberikan Raktri. Namun hanya Bisma (Ardie) yang mempertahankan pendiriannya untuk abstain, karena hanya dia lah yang terlepas dari catatan kotor buku besar Raktri.
Sementara di luar sidang sana, para lelaki kehilangan baju-baju parlemennya, sehingga dengan terpaksa mereka menggunakan daster dan sepatu hak tinggi istri-istrinya. Kala (Marno), Sengkuni (Lutfi), Krepa (Goib), dan Krepi (AA) kebingungan dengan berita parlemen yang disampaikan Balapauta, bahwa keputusan sidang tentang wanita yang memimpin Desa Sukarmaju telah SAH.

































Hingga keputusan itu dilaksanakan terjadi ketimpangan yang sangat kacau. Para lelaki menjadi malas bekerja, karena tak perlu lagi menafkahi istri. Sedangkan istri sibuk bekerja, sehingga melalaikan kewajibannya melayani suami. Para lelaki kerjaannya mabuk-mabukkan, berjudi dan menggoda wanita. Lain halnya dengan kaum wanita. Sejak terjadinya revolusi pemerintahan yang diambil alih oleh kaum wanita, mereka larut dalam pertengkarn yang tak berbobot. Bahkan untuk menentukan ketua saja, mereka berselisish. Kesalahan terbesar dalam pemerintahan baru ini terletak pada sifat wanita yang tak mau kalah, dan selalu bermulut besar dalam menyelesaikan suatu permasalahan serta mengambil kebijakan. Namun pemberontakan wanita pun takkan terjadi bila kaum pria menjungjung keadilan dalam persamaan derajat. Seharusnya ada keseimbangan dalam hak antara pria dan wanita, sehingga ada keselarasan yang bisa membuat pemerintahan menjadi lebih maju. Jika wanita dan pria hidu[ berdampingan dan bekerja sama, maka harmonis lah dunia ini.

That’s all…
Teater yang melibatkan komplikasi perasaan seorang manusia, aku.


You Might Also Like

0 komentar: