Usianya Sudah 14 Tahun

19:04:00 Unknown 1 Comments



Dia sepi, tak berbahasa...

Dia diam, tak banyak bergerak...

Dia hanya diam di atas kursi roda, menatap teman seumurannya bermain, tertawa-tawa..

Ah tidak, dia tidak duduk, dia hanya bersandar, karena tulang belakangnya tak mampu menopang berat badannya sendiri.

Dia pun tak berjalan, dia hanya bergerak bersama kursi roda yang harus didorong.

Dia mengerti, dia ikhlas menjadi dirinya, dia tidak menangisi dirinya..

Dia Anggi Nirmalasarie

Dia, Adikku...


14 tahun yang lalu, saat aku duduk di bangku kelas satu SD. Perasaan bahagia selalu hinggap di dalam hati setiap kali melihat perut mamah yang membuncit. Aku akan punya adik, aku tak usah bermain karet dengan uyut lagi, aku tak perlu menyuapi adik orang lain lagi. Aku tak sabar ingin segera mencium adik bayiku.



Menurutku singkat, hanya tujuh bulan mama mengandung Dede (panggilan untuk adikku, yang terkadang dipanggil Dekong). Entahlah, aku tak mengerti kenapa dia lahir di bulan ke tujuh. Yang jelas, ukurannya sangat mengkhawatirkan, hanya sebesar botol sirup. Dia terkulai lemas dan kedinginan. Mama yang melahirkan di rumah dengan bantuan seorang paraji* hanya mampu menghangatkan Dede dengan botol-botol berisi air hangat, terlihat seperti tiga botol yang berjajar. Tapi bayi perempuan mungil itu tidak terlalu lemah, dia mampu menggerak-gerakan tangannya, menampar angin sana sini dengan lembut. Aku menatap mukanya hanya dalam jarak beberapa centimeter, kucium-cium tangannya-kakinya-pipinya. Aku berlama-lama diam di sampingnya, tak peduli dengan teman-teman yang mengajakku bermain sonlah, aku hanya ingin melihat adikku tumbuh besar. (Ya kali bisa langsung gede dalam beberapa jam).  Dan kita belum sadar, seprematur apa Dede nantinya.

Beberapa bulan kemudian, waktunya Imunisasi. Tak ada yang bisa menyangka bahwa kegiatan rutin untuk membuat ketahanan tubuh bayi menjadi kuat ini adalah awal dari semuanya, awal dari semua kesedihan, awal dari semua ujian besar yang kita hadapi sekarang. “Anak saya agak sedikit panas badannya, apa boleh di imunisasi ?” Mama bertanya kepada bidan. Kemudian bidan itu menaruh tangannya di kening dede, “Oh ga apa-apa bu, aman ko diimunisasi”. Mama menurut, dede pun diimunisasi. Namun, beberapa menit kemudian mata Dede membelalak ke atas, badannya kejang, mukanya yang putih berubah menjadi pucat dan mulutnya berubah menjadi warna ungu, nafasnya tertahan. Aku dan Mama menangis melihatnya, aku kira Dede akan pergi lagi meninggalkan kami. Aku berteriak, aku memarahi bidannya, aku menggigit jariku sendiri melihat Dede yang sepertinya sedang berjuang melawan kematian. Dede pun dibawa ke rumah sakit, dia dirawat. Bayangkan, bayi sekecil itu tangannya ditusuk jarum infus, tergeletak di atas kasur besar rumah sakit. Aku tak mau pergi ke sekolah, aku hanya ingin menjaga Dede, dan melihanya tersadar kembali. 3 hari, Dede dirawat di rumah sakit, selanjutnya kami merawatnya di rumah saja. Kasus ini kami perjuangkan, tapi entah regulasi kelicikan macam apa yang mencemarinya. Sejak awal, dokter yang merawat Dede bilang sendiri bahwa Dede kejang akibat imunisasi, dan semua kesalahan terletak pada tindakan bidannya. Namun ketika kami meminta pertanggung jawaban pada pihak yang terkait, dokter yang sebelumnya mendukung kami, malah menyuruh kami untuk mengurungkan niat, dan dia berjanji akan memberikan perawatan di rumah sakit selama satu tahun. Baiklah, kami tidak terlalu banyak menuntut, kami bukan orang jahat yang mau memeras, kami hanya ingin Dede sembuh.

Selang beberapa minggu, Dede yang usianya baru beberapa bulan ‘terlihat’ sehat. Hmm ya, hanya terlihat sehat. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, tak pernah ada perkembangan kemampuan yang ditunjukan. Minimal bisa bilang “mama” atau “hao hakeng”, atau bisa duduk dan merangkak. Tapi tak ada, dia hanya bisa tidur terlentang, diam tak banyak bergerak. Mulutnya pun mengatup rapat tanpa mengeluarkan suara-suara, hanya lirih saja terdengar suara parau dari tenggorokannya, tapi suara itu tak bermakna, karena hanya keluar begitu saja dari mulutnya.

Di umurnya yang setahun, hampir setiap bulan dia mengalami step / kejang-kejang. Pernah suati kali dia sedang tertidur pulas, dan tanpa sengaja, aku dan Bapa yang baru pulang dari luar kota membangunkannya dengan teriakan “dedeeeee teteeeeh pulaaang bawa bonekaaaaa” niat ingin memberi kejutan, malah membuatnya kaget dan kejang-kejang lagi. Aku menangis, sesal se sesal sesalnya L

Bukannya kami tak pernah berikhtiar, semua saran sudah kami penuhi. Ke tukang urut A, ke ustadz B, ke kiayi C, ke dokter D, sampai ke dukun pun pernah. Itu semua kami lakukan agar Dede bisa normal layaknya anak-anak seumuran dia. Sekali lagi, dia hanya bisa tidur terlentang, tak bisa duduk, kedua tangannya pun tak sanggup memegang dengan baik - walau hanya memegang selembar kertas, dia pun tak bisa berbicara. Jika dia ingin makan, dia menunjuk mulutnya, kemudian siapapun yang tak sedang sibuk - menyuapinya. Sama halnya jika dia ingin buang air kecil, kami harus membopongnya ke toilet. Hhhh..Sudah tak terhitung berapa tenaga yang terkuras untuk membopongnya yang kian hari semakin berat. Bahkan ketika melihat mama dan emak yang membopong Dede, rasanya ingin berhenti kuliah saja dan membantu mereka mengurus Dede. Kasian mama, mama tidak pernah bepergian jauh dan lama, karena mama tak tega meninggalkan Dede yang kadang menangis jika ditinggal. Kasian emak, umurnya sudah sangat tua, tapi masih saja mengurus cucunya. Dulu mungkin tidak terlalu berat, ada aki dan bapa yang sangat menyayangi dede. Tapi kedua lelaki hebat itu kini sudah dipanggil Tuhan. Dulu, waktu masih ada bapak dan aki, kami sering menggendong dede bergantian jika sedang jalan kaki bersama. Orang lain yang melihat mungkin iba, tapi kami yang merasakannya, menganggap itu adalah sebuah anugerah kebersamaan. Kami bahagia. Kami tertawa-tawa. 

Dede, Usianya kini sudah 14 tahun. Jika normal, seharusnya dia sudah kelas 3 SMP. Dia hanya bisa tersenyum menertawakan hal yang lucu, bahkan yang tak lucu pun dia tertawakan. Dia hanya bisa menangis – meraung-raung ketika menginginkan sesuatu. Dia hanya bisa diam, mendengar semua harapan kami kepadanya. Mungkin dalam diamnya, dia pun berdoa, dia pun tak mau seperti sekarang ini. Dia mungkin ingin sekolah, bercanda dengan teman-temannya, jalan-jalan menyusuri setapak dan menemaniku bersepeda. Mungkin dia ingin, tapi tak bisa. Tapi kami yakin, Tuhan menitipkan dia kepada kami, karena Tuhan tau kami sanggup. Kami menyayangi Dede tanpa batas kesabaran, doakan kami dipanjangkan usia agar tetap bisa merawat Dede.

Teteh sayang banget sama Dede.
     

You Might Also Like

1 comment: