Ketimbang Ngemis
Ketimbang Ngemis
Suatu senja, dalam obrolan ringan bersama suami.
“Makin kesini ko rasanya pengemis atau pengamen makin banyak ya...
berasa kan ?” suami hanya mengangguk.
Terlepas dari “mengamen untuk menyalurkan jiwa seni”, saya rasakan
sendiri kemunculan pengamen dan pengemis di kota besar semakin meningkat.
Biasanya selama makan satu piring-yang datang satu pengamen, sekarang yang
datang jadi 3 pengamen dan satu pengemis.
Garis kemiskinan di Indonesia bila dilihat secara kasat mata
memang terlihat terus merangkak naik. Namun fakta di lapangan berdasarkan
abstraksi riset Badan Pusat Statistik, pada
bulan September 2015, jumlah
penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah
Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,51 juta orang (11,13 persen),
berkurang sebesar 0,08 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2015 yang
sebesar 28,59 juta orang (11,22 persen). Sementara persentase penduduk
miskin di daerah perkotaan pada Maret 2015 sebesar 8,29 persen, turun menjadi
8,22 persen pada September 2015. Sementara persentase penduduk miskin di daerah
perdesaan turun dari 14,21 persen pada Maret 2015 menjadi 14,09 persen pada
September 2015.
Ya, walaupun hanya 0,0 sekian persen,
kenyataannya tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia itu turun. Yang salah siapa ? riset ? atau sebenarnya pengemis dan pengamen
ini tidak termasuk dalam kelompok
penduduk miskin ?
Untuk mengukur kemiskinan, BPS sendiri menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan
ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Entahlah, semoga mengemis bukan bagian dari hobi yang mendarah
daging.
Obrolan berlanjut
"Di Jakarta, kalau mau bantu orang itu mudah ya, tinggal beli
aja dagangannya, biar usahanya hidup. Tapi sebenarnya juga sulit, harus sekaya
apa kita ? semua ingin kita beli, semua ingin kita bantu."
MEMBELI = MEMBANTU ??
Begini...
Sejak kecil, entah mengapa mudah sekali perasaan ini tersayat jika
melihat lansia atau anak kecil sedang berjualan. Rasanya hati ini langsung
rapuh, lebih rapuh daripada mergokin pacar selingkuh *eh. Saat SD dulu, hampir
setiap hari saya bergantian membeli tahu gejrot dan gulali. Hari senin tahu
gejrot, selasanya beli gulali, begitu terus selama seminggu. Mengapa? karena
saat itu uang jajan saya hanya Rp. 500 dan harga jajanan tersebut kebetulan
satu bungkusnya memang Rp. 500.
Penjual tahu gejrot adalah seorang lelaki tua renta dari indramayu
yang hidup hanya berdua dengan istrinya di Subang. Istrinya sakit-sakitan
hingga hanya bisa terlentang di kasur setiap hari. Setiap hari keuntungan yang
didapat bahkan hanya cukup untuk makan sekali, itupun dibagi setengah dengan
isterinya. Malah terkadang ia habiskan tahu dagangan untuk memenuhi perutnya yang lapar. Sedih, ketika tahunya terasa sedikit asam dimulut, oh mungkin ini
tahu kemarin yang belum laku.
Sedangkan si penjual gulali adalah kakek tua yang ramah, yang selalu
mengucapkan "alhamdulillah" dengan gemetar ketika ada pembeli yang
mendekat. Kasian kakek gulali ini, mesin sederhana yang ia pergunakan sering
rusak, kondisinya sudah karatan dan kadang mati mendadak. Itu yang menyebabkan
ia jarang pulang membawa untung.
Jajanannya memang tidak terlalu sehat untuk dikonsumsi terus
menerus, maka terkadang saya dan teman-teman bergantian membelinya. Mamah atau
Bapak juga gak marah ko ketika uang jajan selalu habis, karena niat saya
adalah untuk membantu agar dagangannya laku, minimal terbeli oleh saya atau
sekedar mengurangi beban tanggungan yang ia pikul ketika pulang ke rumah. Lebih
dari itu, mereka tidak mengemis, mereka berikhtiar untuk makan minum
sehari-hari dari keringat mereka sendiri. Tentu lebih barokah dan lebih tinggi
derajatnya di mata Allah, dibanding dengan mengemis.
Bersumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengemis berasal dari
kata “emis”
emis, mengemis/meng·e·mis/ v 1 meminta-minta sedekah: sebagai
orang gelandangan dia hidup dari ~; 2 ki meminta dengan merendah- rendah dan dengan penuh harapan: jangan suka ~ cinta, akibatnya tidak baik;
Memang banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengemis,
diantaranya karena ketidakberdayaan, kesulitan ekonomi, terkena musibah dan
lain hal yang tak terduga. Namun banyak juga oknum pengemis yang sebenarnya
kaya raya di kampung, namun sengaja datang ke kota besar untuk mengemis – untuk
melunasi mobil atau motor yang dibelinya. Ini contohnya, bisa di klik aja buat
dibaca :
Islam sendiri menerangkan dalam hadist - Muttafaqun ‘alaihi. HR al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no.
1040 (103)).
مَا زَالَ الرَّجُلُ
يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ
مُزْعَةُ لَحْمٍ.
“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga
ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di
wajahnya”
Naudzubillahimindzalik, semoga
kita termasuk orang-orang yang selalu bersyukur.
Nah, sementara semakin banyak
orang yang mengemis, tentu kita harus mengapresiasi orang-orang yang menolak
untuk mengemis (walau dalam keadaan yang sangat sulit). Baru-baru ini (saya yang telat tau) saya
menemukan sebuah gerakan yang menurut saya sejalur dengan apa yang ingin saya
lakukan. Saya menemukan “KetimbangNgemis” di instagram. Dimana mereka
mengkampanyekan untuk membeli barang-barang yang dijual oleh orang-orang mulia
(lansia / difabel / anak kecil / orang yang terlihat mengkhawatirkan).
Selain itu, mereka membuka
kesempatan untuk siapa saja yang ingin berdonasi dalam bentuk uang atau pakaian
layak pakai, juga mengajak kita untuk bergabung menjadi volunteer yang akan
menjadi penyalur amanah - menyampaikan donasi-donasi yang terkumpul.
Jika tertarik untuk membantu,
bisa langsung cek instagramnya :
dan gerakan ini sesungguhnya
sudah merata di wilayah indonesia, jadi jika mencari KetimbangNgemisJakarta,
maka tinggal tambahkan nama kotanya saja, contoh https://www.instagram.com/ketimbang.ngemis.jakarta/
di sana terdapat info lengkap tentang bagaimana menjadi volunteer atau
berdonasi.
Teman-teman, bagi kalian yang
memiliki kelebihan tenaga untuk bekerja, bekerjalah.
Jika kalian memiliki
kelebihan materi, berbagilah.
Jika bertemu dengan sosok-sosok mulia, belilah dagangannya.
Lihat, betapa mulia sosok
inspirasi di atas. Dalam keadaan sesulit apapun, mereka tetap berjuang
menjajakan dagangan sederhana yang dimiliki.
Tak punya dagangan? masih bisa memulung. Tak punya tenaga, beritahu negaramu, negara seharusnya mengurusmu...Ketimbang Ngemis.
Karena mengemis bukan pilihan satu-satunya.
Salam,
Indah Riadiani
Jujur, saya lebih respek sama mereka-mereka yang berdagang, bersusah payah keliling berpanasan di bawah terik matahari, atau mungkin harus menembus dinginnya angin malam. Mereka ini lebih mulia dibanding pengemis. Karena kalo saya lihat, pengemis itu kayak jadi profesi, sementara penghasilan mereka mungkin saja lebih besar. Kan kita juga sering lihat di TV ada namanya kampung pengemis yang rumahnya besar-besar dan bagus.... ckckckck.
ReplyDeleteSaya juga salut mba, punya niat baik untuk membeli dagangan mereka dengan tujuan mulia... SEmoga menjadi berkah ya mba... Aamiin
ReplyDelete